Jakarta - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) Indonesia telah memulai upaya untuk memperbarui peraturan perundang-undangan terkait pemberantasan tindak pidana korupsi (tipikor) di negara ini. Keputusan ini diambil sebagai respons terhadap perkembangan dan perubahan yang signifikan dalam masyarakat, yang telah memengaruhi penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam acara Konferensi Hukum Nasional yang diadakan pada Rabu, 25 Oktober 2023, Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly, menyatakan bahwa pembaruan aturan tipikor sangat penting dan harus didukung oleh semua pemangku kepentingan, terutama lembaga-lembaga negara dan pemerintah. Yasonna juga mencatat bahwa pada tahun 2022, tercatat 597 kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai Rp42,727 triliun. Lonjakan kasus korupsi ini disebabkan oleh semakin kompleksnya tindakan korupsi, modus operandi yang bervariasi, dan jangkauan kejahatan yang semakin meluas.
Yasonna menjelaskan, "Kita perlu mengidentifikasi serta memetakan hal-hal yang memerlukan pembaharuan dan perbaikan, baik pada aspek substansi pengaturan maupun kelembagaan."
Indonesia saat ini memiliki Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah mengalami perubahan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Namun, selama 22 tahun peraturan ini berlaku, terdapat perubahan signifikan dalam arsitektur hukum internasional yang mempengaruhi hukum nasional Indonesia, termasuk Konvensi PBB menentang Korupsi (United Nations Convention against Corruption - UNCAC), yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
UNCAC memperkenalkan empat jenis tindak kejahatan yang belum diatur dalam peraturan nasional, yaitu penyuapan pejabat publik asing dan pejabat organisasi internasional, memperdagangkan pengaruh, memperkaya diri secara tidak sah, dan penyuapan di sektor swasta. Meskipun tindak kejahatan ini belum diatur di Indonesia, mereka telah terjadi. Yasonna menyatakan, "Peraturan yang belum memadai akan membuat penegakan hukum terhadap korupsi menjadi sulit dilaksanakan."
Perbaruan aturan tipikor, menurut Yasonna, memerlukan kerja sama dan masukan dari semua pemangku kepentingan, termasuk Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung, Polri, Kejaksaan Agung, KPK, PPATK, dan akademisi. Kementerian dan lembaga pemerintah diharapkan akan berkoordinasi untuk mencegah tindak pidana korupsi sesuai dengan tipologi-tipologi kejahatan yang beragam.
Yasonna berharap bahwa Konferensi Hukum Nasional ini dapat memberikan arahan dan masukan yang berharga bagi upaya pemberantasan korupsi di masa mendatang. Konferensi ini diselenggarakan oleh Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham dan merupakan salah satu wujud perhatian pemerintah terhadap agenda pemberantasan korupsi.
Widodo Ekatjahjana, Kepala BPHN, menjelaskan bahwa BPHN terlibat dalam upaya pencegahan tipikor melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan regulasi dan pendekatan sosiologis. Pendekatan regulasi melibatkan analisis dan evaluasi hukum terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum tipikor, sementara pendekatan sosiologis bertujuan untuk membangun kesadaran hukum anti-korupsi di masyarakat melalui penyuluh hukum di BPHN.